Jumat, 14 Desember 2007

BEMI IAIN Ngadu ke Komisi VIII DPR RI

Pers Realees

Selasa, 11 Desember 2007

Perjuangan BEMI IAIN Imam bonjol tanpa kenal lelah, setelah pada tanggal 8 September 2007 lalu audiensi dengan Komisi VIII DPR RI di Jakarta di ruang sidang Komisi VIII DPR RI meminta komisi delapan untuk segera medesak pencabutan SK dirjen No.Dj.I/253/2007 tentang Pedoman Umum Struktur Organisasi Kemahasiswaan yang syarat dengan pengekangan kreativitas mahasiswa atau layaknya disebut dengan NKK gaya baru.

Selasa kemaren tepatnya pada tanggal 11 november kembali BEMI menindak lanjuti pertemuan tersebut dengan kembali bertemu dengan Komisi VIII DPR RI disela-sela KUNKER yang lansung difasilitasi Sekretariat Daerah Propinsi Sumbar di ruang Binuang Bumi minang hotel. Acara yang di hadiri oleh Zulkarnain Jabar (Golkar) Farhan Hamid (PAN) DH Yusni (PKS) berlansung alot yang juga dihadiri oleh 20 orang jajaran kepengurusan BEMI di bawah pimpinan Ja’far.

Dalam pertemuan itu Zulkarnain Jabar yang juga mantan ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan “ kita sudah memanggil dirjen menanyakan masalah SK ini, bagi saya ini memang sangat mengejutkan hari gini, Reformasi seperti ini DEPAG masih membuat peraturan yang demikian” pemilihan pemimpin mahasiswa mesti mendapatkan rekomendasi dari pimpinan university mematikan demokratisasi di kampus”.

SK sudah kita minta untuk dicabut dan dirjen Bahrul Hayat yang menanda tangani SK sudah di copot dan digantikan oleh M.Ali” Dan tugas pertama Bapak M.Ali adalah mencabut SK tersebut”.

Farhan Hamid dari PAN yang juga mantan Akivis Mahasiswa Universitas Air langga menambahkan “dari pembuatan saja SK tersebut sudah cacat hukum, ada hirarki hukum yang mesti kita pahami Pertama UUD 45, UU, Peraturan pemerintah (PP) keputusan presiden (kepres) keputusan mentri (Kepmen) selain itu tidak ada lagi, jadi SK dirjen itu sama sekali tidak punya kekuatan. Atau bisa saja SK ini bisa saja di yudicial review”.

Pertemuan yang berlansung setelah shalat Ashar bertambah alot setelah ja’afar presiden mahasiswa IAIN menjelaskan bahwa Perjuangan pencabutan SK sudah dimulai sejak awal september yang lalu dan sudah menjadi gerakan nasional Ja’far menambahkan “kita sudah bahas perlawanan terhadap SK ini di pertemuan mahasiswa muslim Asia Tenggara di Universitas Islam Indonesia UII Jogya tanggal 13 September dan hasilnya kita berhasil merumuskan penolakan bersama terahadap SK tersebut.

Tanggal 1 November 2007 penolakan terhadap SK ini juga menjadi pembahasan pada pertemuan BEM seluruh Indonesia (BEM-SI) yang menghasilkan 38 BEM menanda tangani penolakan dan sudah disampaikan ke DEPAG RI dan DPR RI Komisi VIII.
Adel Wahidi dari Mentri Litbang BEMI menambahkan “Format kelembagaan mahasiswa tidak perlu di otak-atik lagi oleh pimpinan di kampus karena sejak Reformarsi Format kelembagaan dan gerakan mahasiswa sudah menemukan formatnya sendiri dan sudah punya alat kontrol sendiri dan sejak reformasi itu pula BEM adalah lembaga produktif dalam mencetak pemimpin muda bangsa ini dan tidak ada alasan untuk mengubah sistem ini dan kedepan mestinya dikembangkan.

Tepat jam 16.30 pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan Komisi 8 menjamin SK dirjen tersebut akan segera dicabut dibuktikan dengan pembubuhan tanda tangan pada surat pernyataan penolakan SK yang disediakan BEMI, BEMI juga diminta sabar menikmati proses ini dan tidak berbuat anarkhis dikampus.

Pengekangan Gerakan Mahasiswa
(Kebangkitan Neo NKK BKK di PTAI)

Ja’far-Presiden Mahasiswa BEM IAIN Imam Bonjol Padang

Siang itu, tiada angin kencang dan tidak juga hujan yang disertai badai maupun gemuruhan petir dan halilintar yang menyambar yang menakutkan. Suasana tenang dan biasa-biasa saja. Seperti biasa aktifitas berjalan normal dan kesibukan masing-masing manusia di kampus IAIN Imam Bonjol Padang seperti tidak terjadi masalah besar.

Civitas akademika yang tenang dan normal walaupun sebenarnya kampus juga tidak luput dari masalah. Baik secara akademik, manajerial organisasi maupun segudang Problematika lainnya. Karena masalah-masalah itu pasti ada. Dan memang kehidupan ini penuh dengan masalah apalagi kehidupan di Kampus. Sudah dimaklumi kampus adalah gudangnya masalah dan dinamika.

Kampus tidaklah ia dinamakan demikian kalau bukan dikarenakan tempatnya untuk berdinamika dan menyelesaikan beragam masalah yang ada. Namun, lain halnya dengan suasananya siang itu, ketika pimpinan menyodorkan selembaran kertas yang berisi tiga rangkap kopian surat keputusan dari pusat. Suasana yang tadinya tenang dan damai seketika seperti disambar petir. Cuaca gemuruh dengan awan hitam yang menakutkan dan siap mendatangkan bencana.

Keheningan yang terusik dengan derasnya hujan dan kencangnya angin yang disertai badai. Lebih menakutkan lagi, ia disertai angin puting beliung yang siap memporak-porandakan bangunan yang telah sempurna keutuhannya yang telah kokoh dan mantap berdirinya.

Angin puting beliung yang tidak memberi kata ampun dan belas kasihan kepada setiap yang dilewatinya. Surat keputusan (SK) yang dibuat dan dikeluarkan oleh Direktur Jendral Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 9 Juli 2007. Tiga surat keputusan dikeluarkan secara berbarengan dengan klausul konsederan yang tidak ada perbedaaan. Namun maksud dan isinya saja yang berbeda. Dimana surat keputusan itu terdiri dari tiga nomor.

Pertama, surat keputusan Direktur Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Agama Islam dengan nomor Dj.I/253/2007. Surat keputusan kedua nomor Dj.I/254/2007 tentang Pedoman Umum Orientasi Pengenalan Akademik Perguruan Tinggi Agama Islam. Surat keputusan ini mengatur tentang tata pelaksaan masa orientasi mahasiswa baru yang disingkat OPAK. Sedangkan surat ketiganya adalah bernomor Dj.I/255/2007 tentang Tata Tertip Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam.

Semua surat ini dikeluarkan dengan kepala surat yang sama dan ditandatangani oleh penanggung jawab yang sama. Yaitu ditandatangani oleh Pgs. Direktur Jendral Bahrul Hayat dengan Nip 131 602 652. Seperti apa surat keputusan tersebut?

Pertama kali diterima hanya beberapa hari setelah ditetapkan di Jakarta. Surat ini sampai di Padang serta merta ia menjadi surat yang sangat sakti. Kesaktiannya menafikan dan membumihanguskan peraturan apapun namanya yang ada di kampus PTAI terkait ketiga item di atas.

Surat yang keluar secara tiba-tiba. Surat atau lebih tepatnya berupa peraturan atau undang-undang yang mengatur perguruan tinggi secara nasional sama dan disamakan. Bersifat nasionalis sentralistik. Keputusan yang dikeluarkan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kecuali hanya kepada beberapa orang saja. Peraturan yang tidak memberi ruang untuk didiskusikan. Tanpa ada klausul akan ada perbaikan jika ada kesalahan dan kekhilafan. Dengan sendirinya surat ini seakan tidak terdapat cacat dan salah. Kesaktiannya, melebihi undang-undang dasar (UUD) 1945 yang masih mencantumkan pasal terakhir yang membuka ruang dan kemungkinan untuk di amandemen/dirubah di kemudian hari.

Entahlah.. apapun namanya keputusan ini seperti petir ganas menggelegar di siang bolong sangat mengejutkan semua orang terutama bagi mahasiswa. Sehingga ada beberapa pertanyaan mendasar yang arus dijawab setelah membaca peraturan ini terutama yang berkaitan dengan pedoman umum organisasi kemahasiswaan SK Dirjen 253.

Apakah kampus agama Islam selama ini tidak memiliki peraturan tentang kelembagaan mahasiswa untuk menciptakan suasana dalam rangka mendukung terwujudnya pengamalan Tri Darma Perguruan Tinggi? Selanjutnya apakah peraturan yang ada selama ini di Perguruan Tinggi Agama Islam belum memadai atau belum sempurna sehinngga harus dibuat peraturan baru? dan kenapa peraturan itu harus dibuatkan oleh pusat?.

Apa wajibkah Depag RI yang mengatur secara khusus kelembagaan mahasiswa yang diharuskan/dipaksakan pelaksanaanya di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam secara nasional tanpa terkecuali. Dan bagaimana dengan sebahagian kampus seperti UIN, IAIN dan STAIN yang telah mapan dan mampu mengatur/memajukan mahasiswanya dalam hal tata kelola keorganisasian yang diinginkan masing-masing selam tidak melanggar substansi norma dasar PTAI?. Mampu mewujudkan dan mengembangkan semangat tri darma perguruan tinggi?.

Ada beberapa peraturan yang telah ada untuk mengatur/dalam rangka memajukan PTAI seperti PP 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Kepres nomor 102/2001 yang dirubah menjadi Kepres nomor 45/2002 tentang Susunan Organisasi dan Departemen, Kepmen Depag RI nomor 5/2003 tentang Statuta IAIN Imam Bonjol Padang dan Kepmen Depag RI nomor 424/2003 tentang Pembinaan Kerja dan Pendelegasian Wewenang serta peraturan lainnya. Tidak cukupkah peraturan-peraturan ini.

Peraturan kemahasiswaan yang sudah terlebih dahulu ada bagi yang telah bersusah payah mahasiswa dan orang yang terlibat untuk mengadakan/mendirikannya dengan serta merta haruskah ditiadakan atau diganti? Apalagi dengan mekanisme peraturan baru yang kedatangannya tidak dimengerti dan tidak diinginkan ini. Bagaimana dengan proses demokrasi yang selama ini mulai tumbuh dan berkembang menemukan jati dirinya yang ideal di lingkungan PTAI walau hanya di tataran mahasiswa kendatipun tidak di semua kampus.

Layaknya proses demokrasi yang dilaksanakan di negara. Mencontoh (baca: mencoba kalau tidak boleh dikatakan plagiat) system kenegaraan Indonesia tercinta terkait proses perguliran kepemimpinan dan hal lainnya, karena diakui masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Agak lebih lebih maju selangkah dengan pemilihan kepemimpinan institusi kampus yang dengan cara perwakilan.

Akankah semua usaha menegakkan demokrasi yang mulai hidup yang mengeluarkan cahaya selama ini dipadamkan dengan upaya melemahkan yang tidak kalah kuat dari pihak-pihak tertentu akan terkubur? Terkuburnya harapan di tengah sorotan publik ke Departemen tercinta ini..! memunculkan pesimistis. Sadar atau tidak sadar, ini diakui oleh Menteri Agama di banyak tempat termasuk ketika pertemuan penulis dan tim sembilan dengan Menag di Kantor Depag Pusat setahun yang silam ketika menyelesaikan kekisruhan proses pergantian rektor IAIN Imam Bonjol Padang di Jakarta.

Sudah terlalu banyak imaje yang muncul terhadap Departemen Agama. Faktor positif (positif tingking) yang dapat diambil adalah karena kinginan masyarakat bagaimana lembaga ini lebih baik dan menjadi teladan yang terdepan untuk kebaikan dan kemajuan. Kritik untuk dijadikan obat. Kendati pahit namun menyehatkan demikian Ustad menyampaikan. Namun sebaliknya, bobroknya lembaga ini juga tidak terlepas dari lemahnya manajerial kepemimpinan.

Kebiri Gerakan Mahasiswa

Kembali keakar persoalan, dengan keluarnya peraturan ini ada indikasi usaha untuk mengekang gerakan mahasiswa di perguruan tinggi agama Islam. Lebih tepatnya untuk mematikan potensi kreativitas dan indepedensi mahasiswa. Kreatifitas yang dibangun dengan bebasnya mahasiswa menetukan mana yang terbaik dan sesuai dengan keinginan mereka untuk meresponi situasi dan kondisi yang dibingkai oleh kode etik tri darma perguruan tinggi.

Ada tiga pilar yang dibangun dari basis ini; mahasiswa untuk keilmuan/berbasis akademik, riset dan pengabdian.
Adalah sangat bertentangan/bertolak belakang dengan apa yang diperoleh selama ini baik dari dosen/pimpinan kampus diawal-awal menginjakkan kaki di kampus ketika masa perkenalan bagi mahasiswa baru maupun ketika di perkuliahan, di mana mahasiswa harus menjadi garda terdepan spirit perubahan bangsa.

Ini sekaligus menghendaki mahasiswa menjadi sebagai agen of change aktor perubahan untuk kemajuan. Kalimat yang sering didengungkan dan mungkin akan selalu diteriakkan bagi yang peduli. Ini sekaligus menempatkan mahasiswa sebagai social kontrol. Kekritisan mahasiswa yang bercirikan karakter untuk membela kebenaran. Kebenaran adalah spirit perjuangan dan pijakan kokoh untuk ditegakkan. Kebenaran yang harus diperjuangkan apalagi bagi kita meyakini Islam sebagai basis idiologi. Demikian kata-kata tempo doeloe. Akankah sekarang juga demikian?

Soeharto diturunkan mahasiswa dari singgahsananya (karena tidak mau turun) akibat mengkrisalnya spirit ini. Spirit membela kebenaran demi sebuah perubahan dan kemajuan. Di mana waktu itu kontrol dari pemerintah tidak lagi mempan sehingga mengharuskan mahasiswa turun kejalan meninggalkan bangku perkuliahan dan bahkan rela mempertaruhkan jiwa dan raganya menumbangkan kezaliman Sang diktator. Spirit kontrol dari segala aspek dan bidang kehidupan. Intern dan ke ekstern kampus.

Terakhir ungkapan yang mengatakan mahasiswa adalah iron stoke. Mahasiswa adalah cikal bakal dan generasi penerus penyambung estafet kepemimpinan. Reformasi menjadi sumbangan mahasiswa-tanpa menafikan peran dan andil dari segenap anak bangsa lainnya-di abat ini. Mahasiswa menjadi cadangan kuat bagi perguliran kepemimpinan di masa mendatang.

Bagaimana mungkin ini akan terwujud jika usaha menghambat dan membatasinya terlalu besar dan kuat. Kecuali dengan perlawanan yang kuat pula untuk membauang hambatan-hambatan tersebut.

Jika diperlebar pembahasan ini akan sangat memungkinkan untuk ditambahkan sebagai pengayaan. Terlebih untuk mendiskusikan isi dari Surat Keputusan Dirjen nomor 253 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Ada beberapa klausul yang sangat kontradiktif dengan semangat reformasi kemahasiswaan.
Pertama, ada upaya pengekangan kreatifitas gerakan mahasiswa di organisasi intra kampus. Hal ini seperti mengembalikan kejayaan era NKK BKK (1978-1990) yang berhasil membungkam gerakan mahasiswa dari dalam. Era kejayaan Orde Baru. Pengekangan gerakan mahasiswa yang di setting dari dan dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan lebih di kampus. Mensterilkan mahasiswa dari pelajaran politik dan realitas lapangan kebangsaan maupun persoalan kekinian masa itu. Mahasiswa dilarang berpolitik.

Kontadiktif ketika mahasiswa juga diwajibkan mempelajari berpuluh-puluh buku politik yang dianjurkan untuk dibahas dalam bangku perkuliahan. Sangat bertolak belakang dengan pimpinan yang malah berpolitik praktis di kampus. Inikah namanya mematikan politik dengan cara politik. Tidak lain tujuannya adalah guna menciptakan mahasiswa seperti manusia robot yang tidak perlu mengkritisi dan menanggapi persoalan yang ada.

Manusia yang untuk digerakkan dengan remote keputusan dan kebijakan. Ini menjadi titik balik Neo Normalisasi Kegitan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK-BKK) di kampus PTAI.

Kedua, mematikan/mengkerdilkan gerakan mahasiswa. Dengan keluarnya keputusan ini dengan sendirinya mengkebiri mahasiswa. Menghambat kreatifitas dan mematikan ide dan kebebasan. Mahasiswa yang diharuskan untuk mengikuti kemauan dan kehendak dari pimpinan. Di sini ada tanda-tanda dilemahkannya peran mahasiswa menentukan sendiri format dan tata kelola keorganisasian intra kampus.

Ini diperparah dengan mengharuskan untuk mengikuti format dari atas (pimpinan). Senjata ampuh untuk membungkam kreatifitas tersebut adalah “petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersanggupan” (lihat Bab Ketentuan Penutup pasal 13). Peran mahasiswa semakin digembosi dari dalam di mana mereka tidak berkuasa/bebas lagi menentukan sendiri tetapi ditentukan oleh pimpinan. Pimpinan menjadi otoritas kampus yang mau tidak mau suka atau tidak suka harus ditaati.

Mahasiswa diformat hanya untuk mengkonsumsi bukan memproduksi, melaksanakan amanah titipan dan jangan neko-neko. Kerja mahasiswa hanyalah di kampus, kuliah, pustaka dan mengerjakan PR dengan sunggu-sungguh bukan di jalanan dan bukan mengkritisi. Kurang lebih pemahamannya seperti itu, Benarkan demikian..?

Ketiga, masuknya intervensi pimpinan dalam proses kepemimpinan mahasiswa. Bab V (lima) tentang kepengurusan, anggota dan masa bakti, dalam poin 4 mengharuskan mahasiswa yang akan mencalonkan/dicalonklan untuk memimpin lembaga di setiap tingkatan harus mendapatkan Rekomendasi dari pimpinan, (minimal oleh Purek III, Pudek III dan Ketua Jurusan).

Ini jelas terlihat intervensi (campur tangan) pimpinan dalam proses demokrasi mahasiswa. Jadilah pemimpin mahasiswa pesanan. Surat keputusan yang sarat dengan kepentingan untuk menormalkan aktivitas mahasiswa. Jika diawal prosesnya saja sudah terdapat campur tangan pimpinan yang dilegalkan konstitusi maka sangat logis dan masuk akal kepemimpinan mahasiswa yang terbentuk nantinya adalah orang pesanan sehingga formatnya juga tidak terlepas dari pengaruh pihak yang mengintervensi apalagi ini didukung oleh kewenangan yang memungkinkan untuk itu.

Pada akhirnya ini menjadi persekongkolan/perselingkuhan yang akut. Perselingkuhan pragmatis. Peran kritis dan kontrol mahasiswa di kampus akan sangat sulit terwujud.
Akan baik hasilnya jika proses ini untuk didasari mencari kebaikan dan kemajuan yang dilandasi dengan nilai-nilai kejujuran, sportifitas berdasarkan ajaran Ilahi.

Namun sangat naif jika didasari oleh kepentingan prakmatis dan politis. Kenapa untuk menjadi calon pemimpin mahasiswa yang akan dipilih oleh mahasiwa lainnya harus mengantongi izin atau rekomendasi dari pimpinan. Apa tujuannya? Dari sinilah bermula masalah itu. Indepedensi ternoda.

Keempat, mematikan demokratisasi mahasiswa. Proses demokrasi adalah proses yang ideal pada saat ini di negara Indonesia. Demokrasi dengan sistem pemilu raya untuk memilih pemimpin. system yang dikembangkan dari peradaban Yunani dan Islam ini juga telah mengalir ke desa-desa dan nagari yang terpencil di pengunungan/perbukitan serta daerah pedalaman lainnya.
Masih ingat dengan lantang seorang dosen mengatakan difodium waktu itu, katanya: “kita sebagai mahasiswa IAIN seharusnya menjadi contoh bagi negara bangsa ini dan itu telah kita amalkan jauh sebelum Presiden baru (SBY sekarang ini) dipilih secara massal oleh rakyat (one man one vote).

Mahasiswa, terutama di IAIN Imam Bonjol Padang telah melakukannya (pemilu langsung) sejak tahun 2001 sampai sekarang. Akankah ini berlangsung lama? Demokrasi mahasiswa adalah proses pendewasaan mahasiswa akan proses dan mekanisme demokrasi itu sendiri. Seperti apa demokrasi dan bagaimana pelaksanaan kelembagaannya telah diajarkan oleh bangsa ini dengan segala penopangnya.
Oleh karenanya kampus sudah terlebih dahulu memperoleh ini dengan bekal keintelektuallan dan kematangan konsepnya. Oleh karenanya ada yang mengatakan kampus tak obahnya seperti miniaturnya negara (state minority). Negara kecil yang dikelola oleh elit minotitas. Dengan pola dan persiapan perangkat-perangkat kenegaraan manjadi sebuah kebutuhan walaupun mata perkuliahan tidak mengajarkan secara resmi di kampus.

Teori trias politika Rosseu menjadi konsumsi dan teman akrabnya para aktivis. Makanya ada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), badan legislatif mahasiswa (Dewan Perwakilan Mahasiswa) dan badan yudikatif mahasiswa (Mahkamah Mahasiswa) dan perangkat yang perlu lainnya di kampus.

Bandingkan dengan bunyi bab III pasal 2 tentang bentuk organisasi kemahasiwaan berupa musyawarah senat mahasiswa (SMI) yang hanya dilakukan oleh segelintir perwakilan mahasiswa. Seperti era sebelumnya, hanya ketua Senat-senat Fakultas atau pihak-pihak tertentu saja yang memilih.

Kalau di IAIN Imam Bonjol Padang ada lima Fakultas, maka hanya merekalah yang melakukan pemilihan tersebut. Sedang ribuan mahasiswa lainnya di fakultas Tarbiyah, Syari’ah, Adab, Ushulluddin dan Dakwah seperti ada dalam ketiadaan. Tingkat institut berubah nama menjadi Dewan Mahasiswa (DEMA), tingkat fakultas; Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan tingkat jurusan bernama Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Dari sisi nama kelembagaan mahasiswa di kampus PTAI tersisih sendiri dengan tata kelembagaan mahasiswa di perguruan tinggi umum lainnya.

Namun apakah dengan surat keputusan ini akan menghapus semua bangunan tata kelembagaan yang mulai berkembang di Institusi Islam. Diperlukankan SK tersebut oleh mahasiswa?. Keputusan untuk memilih pemimpin mahasiswa yang menentukan kemana aspirasi mahasiswa ditompangkan, ditentukan oleh suara dari segelintir mahasiswa atau oleh beberapa orang saja?

Keputusan yang mendapat kritikan tajam dari anggota DPR RI komisi VIII, Drs. H. Zulkarnain Jabar dan anggota dewan lainnya sebagai bentuk pengekangan kreatifitas mahasiswa yang jelas. Mereka menolak hal ini. Bagaimana tanggapanmu, wahai mahasiswa.

Kedepankan rasionalitas

Jika dilihat dari kaca mata akademis dan rasionalitas yang jernih tanpa tendensi maka adalah suatu sikap yang bijak untuk bagaimana memajukan kelembagaan mahasiswa PTAI di masa-masa yang akan datang. Memajukan tata kelola kelembagaan yang diformat dan dirumuskan oleh mahasiswa itu sendiri dengan mekanisme yang diatur dengan kesepakatan bersama.

Hal ini dengan sendirinya mengajarkan proses pembelajaran dan trasper pengalaman berjalan secara natural. Sedangkan pimpinan menjadi pengayom, penasehat dan pengawas kreatifitas mahasiswa. Gawangnya adalah Kode etik Tri Darma Perguruan Tinggi. Nilai-nilai kejujuran dan kebenaran berbasis intelektual. Kebebasan yang terkontrol.

Menciptakan suasana yang kondusif di kampus menjadi kemestian untuk diciptakan. Kampus adalah rumah bersama dari civitas akademika yang ada. Dosen, mahasiswa, karyawan dan yang lainnya. Tidak hanya itu kampus juga adalah milik masyarakat yang semestinya juga dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Sangat bijak peran aktif kampus dapat mejawab permasalahan masyarakat. Kesibukkan mengurusi persoalan internal sehingga permasalahan tersebut terabaikan. Berkutat hanya lingkungan dalam kampus.

Peran aktif pimpinan dan mahasiswa dalam kelembagaan yang kokoh dan sinergis akan mengantarkan eksistensi dan pelayanan ke masyarakat sehingga kampus lebih terhormat dan disegani.

Sudah saatnya keharmonisan dan satunya visi-misi kampus dari pimpinan sampai ke mahasiswa (civitas akademika IAIN) untuk kemajuan dan perbaikan IAIN yang dicita-citakan. Menjadikan kampus Islami dan jauh dari pertikaian. Menjadikan IAIN sebagai soko guru dan gudangnya menelorkan ulama yang menjawab tantangan zaman terutama di Sumatera Barat.

Mahasiswanya menjadi contoh dan teladan yang diperlihatkan dari prestasi akademik dan organisasi berbasis semangat religiusitas tinggi. Begitu juga pimpinan menjadi pengayom dan pemberi kesejukan dengan pelayanan prima. Karena semangat profesionalitas dan kemajuan adalah semangat pelayanan. Demikain buku-buku motivasi mengajarkan.

Selanjutnya adalah prinsip Islam yang diajarkan oleh Rasullulah saw. dalam memutuskan dan menyelesaikan persoalan adalah dengan musyawarah. Merembugkan merupakan tradisi positif untuk selalu dikembangkan. Guna menencari dan menerapkan solusi. Indak ado banang kusuik nan indak ka salasai dan indak ado aie karuah nan indak ka janiah.

Tidak ada benang kusut yang tidak bisa diurai dan tidak ada air keruh yang tidak bisa dijernihkan selagi masih terbuka ruang kebersamaan dan keterbukaan. Semangat solusi. Lebih bijak kiranya keputusan Dirjen Departeman Agama ini tidak diterapkan atau dibiarkan apa adanya tersimpan rapi sebagai arsip karena isinya bertentangan dengan semangat perbaikan dan kemajuan kelembagaan mahasiswa di kampus.

Demikian juga apa yang disampaikan oleh anggota dewan komisi VIII DPR RI bahwa “SK ini sudah selayaknya tidak diberlakukan di PTAI alias harus dicabut dan ini yang sedang kita upayakan”. Bagaimana tanggapanmu.. wahai mahasiswa.! Wallahua’lam

* Penulis aktif di lembaga kajian Sumbar Intellectual society sebagai Wakil Direktur dan konsen di bidang kajian hukum. Mahasiswa fakultas Syari’ah jurusan Peradilan Islam. Anak nagari Kuranji Kota Padang.

Tidak ada komentar: