Rabu, 31 Oktober 2007

Kepiluan Istri dan Anak Patria


Dua dari Anak Patria Yang ia Tinggalkan

Gemerlap bintang di langit begitu indah dipandang mata malam
itu. Seolah tidak mau tahu dengan derita yang dialami manusia
dibumi. Hawa dingin pun menggeser daun telinga ketika kuli tinta
koran ini bersama tiga orang teman mulai memasuki kawasan kebun
teh Alahan Panjang.

NOLPITOS HENDRI-TALANG BABUNGO

Dalam menyusuri jalan yang mulai sepi, terlihat tiga tower GSM
berdiri kokoh dengan dihiasi lampu berwarna merah. Kemudian,
jalan yang ditempuh pun turunan. Hawa pun semakin bertambah
dingin bak menusuk tulang.

Sekitar setengah perjalanan dari tower tadi ada sebuah simpang
ke kanan. Jalan ke dalam simpang itu hanya kerikil dan tanah
serta berlubang-lubang besar. Itulah jalan menuju Jorong Bulakan.
Sehingga, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dan dengan
penerangan lampu senter. Sekitar setengah jam pula menyusuri
jalan itu, tibalah di tepi sawah yang padinya masih menghijau.

Kemudian, pematang demi pematang sawah pun dijejaki sehingga
sampai disebuah rumah yang hanya berdinding papan dan
berlantaikan semen. Inilah rumah korban Patria yang dimakan
harimau tangan sebelah kirinya.

Ketika mamasuki rumah itu, yang terlihat hanya hamparan tikar
batang padi dan dipan kayu yang sudah usang dari ruang depan
sampai ruang tengah. Rumah tersebut tidak mempunyai ruangan tamu
dan ruangan makan. Rumah tersebut sangat sederhana dan duduk
hanya di lantai beralaskan tikar tua tersebut.

Dari pintu sampai ke ruangan tengah tidak ada pembatas. Begitu
juga dengan ruangan dimana dipan kayu tua itu terletak. Ketika
dilihat ke sudut sebelah kanan rumah itu, akan terlihat lemari
kain yang ada kaca berhiasnya. Lemari itu terbiat dari papan
triplet yang sudah hampir lapuk.

Diantara ruang tengah dan dan lemari kain itulah Patria
terbaring dan didampingi oleh istrinya Syafniyarmi yang masih
terlihat pilu dan meneteskan air mata di sebelah kanannya. Di
dekat istrinya itu tidur anak laki-laki yang beru berumur 30
bulan. Dialah anak bungsu Patria, Alfa Baiturrahman.

Di sebelah kaki Patria, seorang anak perempuan duduk
bersimpiuh dengan mata yang masih sembab. Dialah Risma Nirwa (18)
anak sulung Patria yang sudah putus sekolah lantaran kekurangan
biaya. Dan di sebelah Risma duduk dua orang perempuan parobaya,
merekalah keluarga dekat Patria dan Syafniyarmi.

Sementara, di dipan kayu yang sudah tua tadi, tampak tertidur
lelap empat orang anak perempuan. Dua dari mereka adalah anak
kedua dan ketiga Patria. Nama mereka adalah Yosi Fatmawati (10)
dan Febriwa Eliza (7).

Kepergian ayahanda tercinta membuat mereka sangat kehilangan
dan terpukul. Karena Patria adalah ayah sekaligus tulang punggung
keluarga. Bak kata pepatah, "Tampek ba gayuik nan lah putuih,
tampek bagantuang nan lah patah, kamano badan manggapai lai."

Seorang istri bersama empat orang anak yang setia
mendampinginya telah ditinggalkan. Syafni masih tersedu-sedu saat
tamu yang datang sili berganti. Karena, apa yang mau dikata,
orang yang tercinta telah tiada.

Kehilangan Patria yang tidak wajar itu menghebohkan warga
Jorong Bulakan. Akibat keganasan harimau, Patria pencari rotan
ini pun kembali ke yang kuasa.
Begitu memiriskan nasib bapak empat anak ini. Demi mencari
nafkah untuk keluarganya, mencari rotan ke rimba untuk membeli
sepatu sekolah anaknya, ditebus dengan nyawanya.

Dengan suara yang sayub-sayub sampai, Syafni menceritakan awal
kepergian suami tercintanya. Pagi itu, Sabtu (10/2) sekitar pukul
09.00 WIB, Patria hendak mencari rotan untuk membeli sepatu
sekolah anaknya yang kedua, Yosi Fatmawati. Karena malamnya, Yosi
mengatakan bahwa sepatunya sudah tidak bisa dipakai kepada
Patria.

Ketika Patria mau berangkat bersama dengan Ral dan Yoki,
Syafni melarangnya. Dengan alasan cuaca seperti akan hujan dan
mendung sudah menghitam. Namun, karena tanggung jawab dan
sayangnya kepada anak, Patria terus saja pergi dan istrinya pun
membiarkan. Kemudian, istrinya pun pergi bekerja menyiang padi ke
sawah orang untuk mendapatkan uang untuk membeli beras.

Sejak berpisah itulah, Syafni bertemu kembali dengan Patria
sudah tidak bernyawa dan meninggal dengan tragis dan memiriskan.
Namun apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Syafni terpaksa
mengiklaskan kepergian suami tercintanya. (nph)

Tidak ada komentar: