Senin, 12 November 2007

Mbak Tia Gadis Berani

Aku kenal Mbak Tia kira-kira 15 tahun yang lalu, ketika sama-sama diterima di
perusahaan tempat kami bekerja hingga sekarang. Kupanggil mbak karena memang
usianya dua-tiga tahun di atasku. Tapi hubungan kami biasa-biasa saja karena
kebetulan kami berbeda divisi dan ditempakan di kota yang berbeda pula. Ketika
masih on the job training kurang lebih enam bulan memang sempat sama-sama. Aku
mengaguminya sebetulnya, dia cantik dan seksi, dan yang paling kusuka adalah
rambutnya yang sepunggung dan matanya yang sendu. Tapi aku tak berani terlalu
akrab. Yang mengelilinginya terlalu banyak dan aku harus tahu diri. Setelah
berpisah akupun lupa, hanya kadang-kadang kalau bertemu di kantor pusat saling
berhalo basa-basi. Sudah.

Sampai krismon ini menerjang, termasuk perusahaan tempatku bekerja. Ketika terjadi phk aku sudah pasrah. Setelah phk, beberapa cabang ditutup dan pegawai yang masih dipakai ditarik ke pusat, dan diadakan pembenahan.

Yang bikin
surprise, sekarang aku satu divisi dengan Mbak Tia. Bayangkan, setelah 15 tahun.
Dan aku semakin terpesona, di mataku dia semakin dewasa dalam usianya yang
mendekati 40.
Tapi tentu saja perasaanku kusembunyikan. Hanya saja aku sering mencuri pandang.
Aku semakin kagum dengan kematangannya. Rambutnya tetap sepunggung, agak pendek
sedikit memang tapi masih di atas bahu. Matanya masih tetap sendu. Kulitnya
tetap kencang. Senyumnya tetap manis. Badannya, yang aku heran, masih kencang.
Buah dadanya tak terlalu besar tapi masih terlihat membusung ke depan. Aku tahu
masih membusung karena jenis behanya bukan yang pakai penyangga. Aku tahu karena
suatu kali ketika menunggu dia mengetik dan kuperhatikan dari belakang, di balik
baju putihnya yang tipis tercetak jelas beha Mbak Tia. Dan..aku paling senang
dengan beha hitam, entah mengapa, kupikir itu merangsang. Selain itu, pinggulnya
masih tetap kecil dengan pinggul dan pantat yang proporsional. Aku sekarang jadi
sering membayangkan yang bukan-bukan. Padahal kami sama-sama sudah punya
keluarga.
Tapi pekerjaan akhirnya memang harus mendekatkan kami yang akhir-akhir ini harus
sering pulang larut dan aku harus, dengan senang hati mengantarnya pulang.
Kadang aku takut kalau melihat matanya, takut ketahuan kalau aku mengaguminya.
Entah perasaanku saja mungkin, agaknya dia tahu juga kalau aku sering
memandangnya penuh pesona. Tapi selama ini dia diam saja. Dan selama itu pula
kami bergaul biasa, kadang guyon, bahkan suka nyerempet yang jorok. Dan dia
biasa saja bahkan bisa mengimbangi. Tapi tetap saja aku tidak berani lebih dari
itu.
Sampai suatu hari seperti biasa kami harus pulang malam. Dalam perjalanan pulang
kami tak banyak ngobrol, mungkin capek. Aku melamun sendiri.
"Di."
"Dias."
"Di!"
Aku kaget, lamunanku terlalu jauh.
"Eh, sori, apa Mbak?"
"Kamu nglamun apa sih?"
"Eh.ngngng."
"Mampir rumah sebentar ya."
Biasanya aku mengantar cuma sampai depan pintu dan begitu dia turun aku terus
pulang. Ada angin apa sekarang menawari aku mampir, tentu tak kusia-siakan,
sambil mau kenalan dengan suami dan anaknya. Aku mengiyakan. Sampai akhirnya
kami sampai dan turun. Gelap. Aku heran, dia mengambil kunci dari tasnya dan
membuka pintu depan.
"Lho, pada kemana Mbak?"
"Mas Tri dan anak-anak sedang ke Bandung, ada perlu. Kamu tungguin sebentar ya
aku nyalain lampu."
Kami masuk. Aku duduk sementara dia menyalakan lampu-lampu rumah dan setelah
kelihatan semuanya beres aku sudah mau pamit tapi dicegah.
"Minum dulu, Di, mau apa? Dingin apa panas?"
"Dingin saja Mbak."
Mbak Tia masuk, agak lama, kemudian keluar sambil membawa es jeruk.
"Sori ya lama, aku ganti baju dulu, risi rasanya"
Aku agak melotot melihat Mbak Tia muncul dengan daster pendek putih agak tipis
dengan potongan dada rendah. Ketika menunduk meletakkan minuman di depanku aku
tak bisa mengalihkan mataku dari belahan dada yang aduhai. Dan ketika dia ke
belakang mengembalikan baki, kulihat dari belakang bentuk tubuh yang demikian
matang, masih bagus, kelihatan benar celana dalam dan behanya yang berwarna
hitam itu.
Ketika ngobrol aku sudah tidak bisa berkonsentrasi karena berusaha untuk tidak
melihat belahan buah dada dan paha yang tersibak dari belahan daster.
"Di, kamu bisa pijit?" tanyanya tiba-tiba.
"Eh..enggak, kenapa?"
"Pijit sebentar dong kepalaku, agak pusing nih."
"Coba ya." dan aku berdiri di belakangnya, meraih kepalanya dan mencoba memijit
pelan. Tapi mataku terus tertanam ke susu Mbak Tia yang semakin jelas terlihat
di balik daster dan dibungkus beha hitam itu. Pembicaraan kami sudah berhenti
ketika tanganku mulai lancar memijat. Dan tak terasa dari kening turun ke kuduk.
Mbak Tia menengadahkan wajah dan meram ketika tanganku turun ke pundaknya.
"Enak Di."
Aku semakin kacau. Kuturunkan pelan-pelan jari-jari tanganku ke depan, menyentuh
pangkal buah dadanya. Terasa lembut. Mbak Tia diam saja. Aku semakin berani.
Jariku menekan pangkal susu itu. Mbak Tia masih diam, bahkan lirih kudengar
napasnya memburu sementara matanya tetap terpejam. Aku nekat. Kuselipkan
jari-jariku ke balik daster itu. Kusentuh beha yang tipis tapi terasa benar
daging di dalamnya yang kenyal. Karena Mbak Tia tetap diam aku mengambil
kesimpulan semuanya oke. Segera saja kuraih buah dada itu, kuusap dan
kuremas-remas.
"Diiii.."
Kutarik Mbak Tia berdiri, aku masih dibelakangnya. Kupeluk Mbak Tia dengan erat,
kuremas-remas buah dadanya yang ternyata kenyal sekali. Dia berbalik sehingga
kini kami berhadapan. Aku kaget,kukira dia marah.
"Di.aku tahu kamu suka sama aku."
"Ngngng."
"Sudah lama kamu perhatikan aku."
Aku tergugu.kulihat mata yang sendu itu, sekarang terpejam lagi, dan bibir yang
indah itu sedikit terbuka. Aku tak menunggu lama, kukecup bibirnya. Mbak Tia
membalas ganas. Dikulumnya bibirku, lidahnya menjalar di dalam mulutku sementara
tangannya langsung turun mencari penisku yang sedari tadi sudah tegang.
Diusap-usapnya kemaluanku. Kami terus sibuk melepas pakaian. Dia melucuti
pakaianku hingga yang terakhir, sementara aku hanya membuka dasternya saja.
Mataku terbelalak melihat pemandangan di depanku. Tubuh Mbak Tia yang dibalut
beha dan celana dalam hitam mini betul-betul merangsangku. Aku senang melihat
wanita dengan pakaian dalamnya, entah kenapa, lebih daripada yang telanjang.
Kami segera bergelut. Kuremas-remas buah dada itu sementara tangan Mbak Tia
dengan lihai mempermainkan penisku yang semakin tegang. Mbak Tia kemudian
berjongkok dan menciumi penisku. "Aaaaahhhhhhh..." nikmat sekali rasanya ketika
bibir dan lidah Mbak Tia mempermainkan penisku, dimasukkannya penisku ke dalam
mulutnya, dikulum, diisap, dijilat.. Sementara tanganku tetap meremas-remas buah
dadanya. Sampai akhirnya aku tak tahan. Kurebahkan Mbak Tia di sofa besar
panjang itu, perlahan kulepas behanya, kupandangi sepuasnya buah dadanya yang
lembut itu, terus tanganku turun ke perut dan menyusup ke balik celana dalam
Mbak Tia, terasa rambutnya yan lebat. Kubuka celana dalam itu sehingga kini Mbak
Tia telanjang bulat. Dewa..
"Diiii..cepaaattt..aaaahhhhhhh..."
"Mbaaaakkk..."
Kutindih tubuh hangat Mbak Tia, Mbak Tia merengkuh tubuhku dan terasa hangat
buah dadanya menekan dadaku. Kuarahkan penisku ke lubang vagina Mbak Tia yang
sudah basah. Bllleeeeesssssss... hangat sekali rasanya penisku di dalam lubang
kemaluan Mbak Tia.
"Diiii..ssssshshhhhh...aaaaahhhhhhh..enaaaakkkk..teruuussss..."
"Mbaaaaak..uuuuhhhhhh..."
Tubuh kami bergerak liar. Pinggul Mbak Tia berputar dan vaginanya terasa
menjepit dan meremas kemaluanku. Tak terkatakan nikmatnya..
"Ooooohhhhh..Diiiiii...sssssshshshshsh...mmmmmhmhhhhh..teruuussss
Diiiii...iyaaaaa...gituuu teruussss...aaahhhhhh enaaaak sekaliiii.."
"Mbaaaakkk...nikmat sekali mbaaaak...uuuuhhhhhh..."
"Diiii..aku mau keluar nih.sama-sama yaaaaa...ssssshhhhhhh..."
Kami bergoyang semakin cepat dan semakin cepat..sampai akhirnya kami berdua
berteriak sama-sama ketika air maniku muncrat banyak sekali di dalam liang
vagina Mbak Tia yang juga mencapai orgasmenya...
"Diiiiiiiiiiiiii.......!!!!!"
"Mbaaaaaaakkkkk...!!!!!"

Tidak ada komentar: